Sabtu, 25 Februari 2017

Gundul-Gundul Pacul - Sunan Kalijogo - Go Internastional

Gundul-Gundul Pacul  diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijogo dan teman-temannya saat masih remaja.
Syia’r penyebaran agama islam ala Sunan Kalijogo terbilang unik, namun mempunyai arti filosofis yang dalam dan sangat mulia.

Lirik:

 “Gundul gundul pacul-cul, gembelengan.
 Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan.
 Wakul ngglimpang segone dadi sak latar.
 Wakul ngglimpang segone dadi sak latar”

Filosofi:

Gundul artinya plontos/botak tanpa rambut. Kepala perlambang kehormatan dan kemuliaan seseorang,
sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala.
Dengan demikian, gundul artinya adalah kehormatan yang tanpa mahkota.

Pacul /cangkul merupakan papat kang ucul (empat yang lepas). Maksudnya adalah kemuliaan seseorang akan sangat tergantung pada empat hal.
Yaitu, bagaimana seseorang menggunakan matanya, hidungnya, telinganya, dan mulutnya.
Mata itu seharusnya digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, telinga digunakan untuk mendengar nasihat,
hidung digunakan untuk mencium aroma wewangian kebaikan, dan mulut digunakan untuk berkata-kata baik penuh kearifan, adil, bijak.
Jika, keempat hal tersebut luntur dari seorang pemimpin maka rendah sudah kedudukan serta kehormatannya.

Gembelengan mengandung makna besar kepala, sombong, dan suka bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat,
tetapi dia malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya, menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia,
Semua hal dianggap mudah, semua hal dianggap dapat diganti dan dibeli, minta dihormati tanpa mau menghormati dan semakin melupakan apa itu nurani,
menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya (adigang, adigung, adiguno).

Nyunggi-nyunggi wakul-kul maksudnya adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya.
Wakul sendiri menyimbolkan kesejahteraan rakyat, kekayaan negara, sumber daya, pajak, dan sebagainya.
Banyak pemimpin yang setelah di atas lupa di bawah, bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul di kepalanya.
Artinya bahwa kepala yang dia anggap sebagai kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat.
Pemilik bakul lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pembawa bakul karena ia hanyalah pembantu si pemiliknya (rakyat).

Dan sekarang banyak sekali pemimpin yang masih gembelengan, melenggak lenggokan kepalanya dengan sombong,
mereka pun bahkan bermain-main dengan kedudukannya. Masih ada anggapan kedudukan merupakan batu lompatan meraih “POPULARITAS” semu.

Akibatnya wakul ngglimpang segone dadi sak latar, bakul jatuh dan nasinya tumpah kemana-mana.
Artinya, jika pemimpin gembelengan maka sumber daya akan tumpah kemana-mana, tidak terdistribusi dengan baik dan kesenjangan sosial muncul dimana-mana.
Nasi yang sudah tumpah ke tanah sudah tidak bisa untuk dimakan lagi karena kotor.

Adalah sikap baik menghormati pemimpinan, namun tidak membutakan diri membiarkan ulah atau perbuatan pimpinan yang kurang baik.
Bahkan menurut saja apapun itu kata atasannya alias "sendiko dawuh" saja padahal tahu bahwa atasanya melanggar norma, dan tak bisa adil.
Dengan demikian pemimpin dituntut "lebih" dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur.
Menjadi panutan atau suri tauladan bagi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar